Header Ads Widget

Selamat datang di website berita terpercaya TOPNASIONAL.COM

Tarik Ulur UU Perampasan Aset: Rakyat Menunggu, Elit Saling Melindungi



Oleh : idham rizal  ppwi inhil

TOPNASIONAL.COM, Tembilahan, 4 Agustus 2024

Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset kembali mengambang. Setelah bertahun-tahun dijanjikan, hingga kini ia masih menjadi bola panas yang dilempar ke sana kemari. Publik mendesak, aktivis antikorupsi menekan, dunia internasional memberi sorotan. Namun di meja politik, tarik-ulur terus terjadi. Pertanyaan mendasar pun muncul: siapa sebenarnya yang diuntungkan, dan siapa yang dirugikan, jika UU ini benar-benar disahkan?

Korupsi: Kejahatan yang Merampas Kehidupan

Korupsi di Indonesia telah lama disebut sebagai kejahatan luar biasa. Dampaknya bukan hanya pada neraca keuangan negara, melainkan juga pada kualitas hidup warga. Dana pendidikan yang bocor berimbas pada sekolah reyot dan guru honorer bergaji minim. Anggaran kesehatan yang dikorupsi membuat puskesmas kekurangan obat. Proyek infrastruktur yang dikurangi anggarannya berakhir dengan jembatan roboh sebelum sempat digunakan.

Data mendukung kenyataan ini. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sepanjang 2023 saja, kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp 18,2 triliun. Sementara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan indikasi penyimpangan anggaran sebesar Rp 56,54 triliun dalam audit tahun yang sama. Ironisnya, menurut KPK, pengembalian kerugian negara dari kasus korupsi selama ini hanya sekitar 10–15 persen. Artinya, sebagian besar harta hasil korupsi tidak pernah kembali.

UU Perampasan Aset dimaksudkan untuk menjawab masalah ini. Dengan regulasi tersebut, negara bisa menyita aset hasil kejahatan, bahkan tanpa harus menunggu putusan pidana yang berliku-liku.

Tarik Ulur yang Menguntungkan Siapa?

Secara prinsip, UU ini jelas menguntungkan publik. Jika negara mampu merampas dan mengelola kembali aset hasil korupsi, dana tersebut bisa digunakan untuk pembiayaan program publik. Kajian KPK memperkirakan potensi penyelamatan aset negara bisa mencapai Rp 100 triliun per tahun. Jumlah sebesar ini cukup untuk membiayai 200 ribu ruang kelas baru, atau menutup kebutuhan subsidi pupuk nasional selama dua tahun.

Namun di sisi lain, UU ini menjadi ancaman bagi segelintir elit politik dan ekonomi. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan adanya lebih dari 11 ribu rekening mencurigakan milik pejabat publik dan keluarga mereka dalam lima tahun terakhir. Jika UU ini berlaku, rekening-rekening tersebut bisa diperiksa dan asetnya disita.

Tidak heran, tarik ulur muncul. Alasan hak asasi manusia, risiko salah sita, hingga dalih teknis kerap dipakai untuk menunda pembahasan. Namun publik membaca tanda-tanda: semakin lama ditunda, semakin banyak waktu bagi para pelaku untuk memindahkan atau menyamarkan kekayaan mereka.

Drama Politik yang Berulang

Pola ini bukan hal baru. Ketika KPK diperkuat pada awal 2000-an, perlawanan balik (corruptor fight back) segera muncul dalam bentuk revisi UU KPK yang melemahkan lembaga tersebut. Kini, ketika UU Perampasan Aset mulai menguat, tarik-ulur politik kembali terjadi.

Bagi rakyat, drama ini melelahkan. Transparansi Internasional menempatkan Indonesia pada skor 34/100 dalam Indeks Persepsi Korupsi (CPI) 2024, peringkat 115 dari 180 negara. Skor ini membuktikan bahwa dunia internasional melihat Indonesia masih jauh dari bersih. Jika elit politik terus menghambat, kepercayaan publik dan investor akan semakin tergerus.

Siapa Dirugikan?

Yang paling dirugikan tentu saja para koruptor. Data KPK menunjukkan lebih dari 200 koruptor sudah bebas dari penjara antara 2015–2023, banyak di antaranya masih menikmati harta haram yang tak tersentuh hukum. UU Perampasan Aset akan menutup ruang aman itu.

Selain itu, jejaring bisnis dan perbankan yang selama ini menjadi “penyuci uang” juga akan terkena imbas. Transparansi dan kewajiban pelaporan aset akan meningkat.

Namun yang juga berisiko dirugikan adalah lembaga penegak hukum sendiri, jika implementasi UU ini tidak diiringi pengawasan ketat. Sebab, kewenangan besar tanpa kontrol bisa membuka peluang penyalahgunaan. Inilah yang sering dijadikan alasan penunda, meskipun publik menilai alasan tersebut lebih bersifat politis daripada substantif.

Publik Menunggu, Elit Saling Melindungi

Dalam situasi tarik ulur ini, publik menunggu kepastian. Sebab setiap tahun penundaan berarti puluhan triliun rupiah aset rakyat melayang. Sementara elit politik terlihat lebih sibuk menghitung risiko terhadap diri mereka dan kelompoknya.

Pertanyaan yang mengemuka bukan lagi apakah UU Perampasan Aset diperlukan, melainkan apakah ada kemauan politik untuk mengesahkannya. Tanpa kemauan politik, segala data, kajian, dan tekanan publik hanya akan berakhir di meja rapat tanpa hasil.

Penutup: Ujian Moral Politik

UU Perampasan Aset adalah ujian moral bagi bangsa ini. Jika disahkan dan dijalankan konsisten, ia bisa menjadi tonggak baru pemberantasan korupsi. Jika terus ditunda, publik hanya akan semakin yakin bahwa elit lebih memilih saling melindungi ketimbang melindungi rakyat.

Sejarah akan mencatat, siapa yang berdiri di pihak rakyat, dan siapa yang memilih bersembunyi di balik alasan teknis untuk mempertahankan status quo. Dan di titik inilah, kepercayaan rakyat terhadap sistem politik dipertaruhkan.

(IrOpsJaringMerah94)

Posting Komentar

0 Komentar