TOPNASIONAL.COM, Oleh: Idham Rizal, PPWI Inhil
1. Pendahuluan: Konteks dan Arah Tulisan
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia disaksikan kembalinya gelombang demonstrasi — menuntut perubahan sosial, ekonomi, hingga kebijakan pemerintahan. Salah satu yang menarik perhatian adalah peran TNI sebagai penjaga keamanan yang tak jarang menjadi sorotan: apakah kasih sayang merakyat atau sekadar “kepatuhan” terhadap kekuasaan? Lewat tulisan ini, saya berupaya menawarkan gambaran tajam, menyuarakan substansi, dan menimbang keseimbangan antara pengamanan dan demokrasi.
2. Data Setempat: Inhil, Waktu, dan Jenis Aksi
Lokasi: Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), Riau — tepatnya di sekitar Gedung DPRD Inhil, Jalan Soebrantas, Tembilahan.
Waktu Aksi: Kamis, 8 September 2022, sekitar pukul 09.00 WIB.
Jenis Demonstrasi: Aliansi Mahasiswa Inhil melakukan unjuk rasa menolak kenaikan harga BBM. Mereka mengangkat tuntutan tambahan seperti transparansi anggaran pengalihan BBM, penstabilan harga sembako, komoditas lokal seperti kelapa dan sawit, serta perbaikan infrastruktur. Aksi berlangsung damai namun menyita perhatian publik.
3. Kehadiran TNI: Pengaman atau Mitra Rakyat?
Dalam pelaksanaan demo tersebut, personel gabungan dari TNI, Polri, dan Satpol PP dikerahkan untuk menjaga keamanan di akses utama ke DPRD Inhil.
Apa arti peran ini secara lebih tajam?
TNI tidak sekadar hadir sebagai “tameng kekuasaan”, melainkan beroperasi berdampingan dengan masyarakat—sebuah indikator awal pendekatan humanis.
Pengamanan diarahkan sesuai SOP, dengan penekanan pada tindakan tanpa kekerasan, menjaga kebebasan rakyat.
Momen ini mencerminkan bahwa TNI bisa menjadi mitra dialog demokratis, bukan hanya alat represif.
4. Pola Nasional: Konsistensi atau Sesaat?
Untuk memahami tren, perlu melihat respons TNI dalam konteks nasional:
Jakarta, 29 Agustus 2025: Brigade Parako I Pasgat TNI AU menurunkan 579 prajurit untuk menjaga aksi demo agar tetap kondusif. Mereka menyebar di titik-titik seperti Kwitang, Jakarta Pusat; pendekatan mereka humanis, bahkan banyak warga yang naik ke kendaraan militer.
Panglima TNI, 30 Agustus 2025: Jenderal Agus Subiyanto mengimbau masyarakat tidak terprovokasi, serta menekankan bahwa kehadiran TNI adalah untuk melindungi, menumbuhkan rasa aman, dan menjaga persatuan.
25 Agustus 2025, kawasan DPR Senayan: Wakil Ketua DPR, Ahmad Sahroni, memberikan apresiasi atas kinerja TNI dan Polri yang tegas namun humanis dalam mengawal demo. Polri dan TNI disebut tidak terpancing kericuhan; pendekatan mereka disebut berhasil menjaga kebebasan berpendapat dalam kedamaian.
Analisis Singkat: Terdapat kemiripan pola antara pengalaman di Inhil dan di pusat: TNI berperan aktif dengan pendekatan persuasif, menjaga ketertiban sambil menghargai hak berpendapat. Ini menunjukkan ada upaya pola nasional yang konsisten, bukan sekadar respon lokal.
5. Kritik Tajam: Apakah Ini Merekayasa Citra atau Bukti Demokrasi?
a. Potensi Pencitraan
Tidak bisa dielakkan bahwa kehadiran TNI dalam demonstrasi mengandung potensi pencitraan positif: menampilkan kekuatan sebagai penengah, bukan penindas. Namun, apakah ini hanya “etalase,” atau terdapat niat perubahan substansial?
b. Keselarasan SOP dan Realitas Lapangan
Apa yang dikatakan di atas kertas (SOP humanis) kadang tidak sejalan dengan implementasi. Belum banyak kajian independen yang memverifikasi bahwa setiap demo ditangani tanpa pelanggaran HAM. Kita butuh monitoring independen, transparansi dari kedua pihak—pengunjuk rasa dan aparat.
c. Ancaman Provokasi
Peran intelijen TNI—seperti yang terjadi di Inhil dengan pendeteksian upaya provokasi oleh oknum—menyiratkan bahwa TNI juga berfungsi mengawasi wacana politik. Bila dikelola dengan bijak, ini positif. Namun, kalau tidak, bisa menjadi bentuk sensor dini terhadap kritik.
d. Representasi Kesetaraan
Sikap tegas dan profesional adalah hal baik. Namun apakah ini berlaku adil ke semua kelas sosial? Atau hanya saat elite terlibat? Perlu data lebih mendalam: bagaimana peran TNI dalam menghadapi demo pekerja, petani, atau aktivis lingkungan, tidak hanya mahasiswa.
6. Kesimpulan Tajam
Dengan data lokasi (Inhil, Tembilahan), waktu (8 September 2022, 09.00 WIB), dan konteks demo (tolak BBM naik, soal pangan dan infrastruktur) — kita melihat TNI mengambil peran yang lebih merakyat.
Namun, keseragaman pola nasional tidak otomatis menyiratkan demokrasi sejati. Kunci menuju pendekatan yang tulus adalah:
1. Internalisasi humanisme di semua level TNI.
2. Transparansi dalam data pengamanan dan evaluasi HAM.
3. Dialog terbuka antara pemerintah, TNI, dan publik.
4. Pengawasan independen, agar SOP benar-benar merefleksikan tindakan di lapangan.
7. Arah Tindak: Apa yang Harus Dilakukan Selanjutnya
Jurnalisme Investigasi: Mengumpulkan testimoni peserta demo dan personel TNI di lapangan.
Surat Pembaca ,² Diskusi Publik: Mendesak pemerintah mempublikasikan evaluasi penggunaan pasukan dalam demo.
Kajian Akademik: Analisis perbandingan antara TNI sebagai alat represif vs. sebagai penjaga demokrasi.
Abadikan Inisiatif Humanis sebagai Budaya
Akhir kata, “TNI merakyat” bukan sekadar slogan media. Ia harus menjadi budaya, bukan sekadar tampilan. Dan respons kita sebagai wartawan, pengamat, atau warga adalah: mengawalnya, mengevaluasi, dan menuntut agar ia tumbuh menjadi bagian kokoh demokrasi.
(Idham rizal)
0 Komentar