Header Ads Widget

Selamat datang di website berita terpercaya TOPNASIONAL.COM

Dari Seruan Hukuman Mati ke Permintaan Amnesti: Wajah Ganda Perang Melawan Korupsi



TOPNASIONAL.COM, INHIL 24 Agustus 2025

Di Indonesia, korupsi telah lama dianggap sebagai “penyakit kronis” yang menggerogoti tubuh negara. Di tengah frustrasi publik, sering muncul sosok-sosok yang tampil lantang: berjanji memberantas korupsi, menggaungkan hukuman berat, bahkan tidak segan menyebut hukuman mati sebagai solusi pamungkas. Namun, apa jadinya jika salah satu dari mereka yang pernah berteriak keras itu kini justru memohon pengampunan hukum (amnesti) ketika dirinya terseret kasus?

Fenomena itulah yang kini mencuat melalui kasus Immanuel Ebenezer (Noel), mantan Wakil Menteri Ketenagakerjaan yang pada 21 Agustus 2025 resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dugaan pemerasan terkait pengurusan sertifikasi K3 menjadi pintu masuk hukum yang menyeret namanya.

Yang membuat publik tercengang bukan hanya penetapan tersangka itu sendiri, melainkan pernyataan Noel yang berharap mendapatkan amnesti dari Presiden Prabowo Subianto. Sebab, tak lama berselang sebelum kasus ini, Noel dikenal sebagai sosok vokal yang pernah menyatakan bahwa “koruptor harus dihukum mati”, bahkan mendesak menteri-menteri di kabinet kala itu untuk siap menerima hukuman mati jika terbukti melakukan korupsi.

Hipokrisi Politik: Antara Retorika dan Realita

Publik Indonesia sudah kenyang dengan janji politik. Mereka tahu, menjual jargon “anti-korupsi” adalah tiket cepat meraih simpati. Tetapi, ketika kata-kata yang pernah dielu-elukan justru dipatahkan oleh perilaku pemiliknya, rasa dikhianati itulah yang paling membekas.

Fenomena Noel bukan yang pertama. Kita sudah berkali-kali menyaksikan tokoh yang dahulu memimpin barisan moral, kini masuk dalam daftar yang mereka sendiri ingin habisi. Inilah wajah ganda perang melawan korupsi: lantang di luar, lembek di dalam.

Memahami Amnesti: Bukan Jalan Pintas Bebas Hukum

Untuk memahami kejanggalan permintaan ini, kita perlu membedakan istilah-istilah hukum yang sering dipakai dalam konteks pidana:

Amnesti: Penghapusan segala akibat hukum pidana; seolah-olah tindak pidana itu tidak pernah terjadi. Biasanya diberikan untuk kepentingan politik, rekonsiliasi nasional, atau kasus tertentu yang dianggap perlu penyelesaian luar biasa. Diberikan Presiden dengan pertimbangan DPR dan nasihat tertulis Mahkamah Agung (MA).

Abolisi: Menghentikan proses hukum yang sedang berlangsung. Tidak menghapus kesalahan, tetapi menghentikan penuntutan.

Grasi: Pengampunan atau keringanan hukuman bagi terpidana; tidak menghapus kesalahan, hanya mengubah atau mengurangi sanksi.

Remisi: Pengurangan masa hukuman, biasanya diberikan saat hari-hari besar tertentu.

Dalam praktiknya, amnesti sangat jarang diberikan kepada kasus korupsi individual, apalagi yang masih dalam tahap penyidikan. Lebih sering, amnesti dipakai untuk kasus politik, seperti penghapusan pidana bagi kelompok tertentu pasca konflik.

Reaksi Istana: Presiden Tidak Akan Membela Koruptor

Istana merespons cepat isu permintaan amnesti Noel. Dalam pernyataannya, pihak Istana menegaskan bahwa Presiden Prabowo Subianto tidak akan membela bawahannya yang terbukti korup. Pesan ini penting untuk menjaga kepercayaan publik bahwa perang melawan korupsi tidak boleh tebang pilih.

Pernyataan itu sekaligus menjadi sinyal bahwa permintaan amnesti seperti ini tidak bisa serta-merta dikabulkan, apalagi jika berpotensi mencoreng komitmen pemerintah terhadap pemberantasan korupsi.

Dampak terhadap Kepercayaan Publik

Kasus ini tidak berdiri sendiri. Ia menjadi bagian dari narasi panjang kekecewaan publik terhadap elite yang kerap memanfaatkan isu korupsi sebagai panggung politik. Dampaknya bisa dirumuskan dalam beberapa lapis:

1. Erosi Kepercayaan terhadap Pemerintah:

Ketika orang yang dipercaya bersih ternyata terlibat praktik korupsi, publik akan semakin sinis terhadap slogan-slogan reformasi.

2. Normalisasi Permintaan Pengampunan:

Jika amnesti untuk kasus korupsi individu dibiarkan menjadi preseden, maka ia akan menjadi “jalan tikus” baru bagi pejabat bermasalah.

3. Ketegangan antara Penegakan Hukum dan Kekuasaan:

Kasus seperti ini menguji sejauh mana hukum bisa tegak tanpa intervensi politik.

Refleksi Moral: Konsistensi adalah Mata Uang yang Mahal

Dari kasus ini, ada satu pelajaran moral yang tidak boleh diabaikan: integritas bukanlah ucapan, melainkan keteguhan sikap. Banyak pejabat mampu berbicara tentang pemberantasan korupsi, tetapi sedikit yang tetap konsisten ketika kekuasaan sudah berada dalam genggaman.

Perubahan sikap drastis—dari pendukung hukuman mati menjadi pemohon amnesti—bukan sekadar kontradiksi, tetapi bentuk nyata oportunisme. Inilah yang harus dilawan dengan ingatan publik: jangan cepat lupa, jangan cepat luluh.

Arah ke Depan: Harapan dan Kewaspadaan

Kini bola ada di tangan penegak hukum dan pemerintah. Jika proses hukum berjalan transparan, tegas, dan tanpa intervensi, kasus ini bisa menjadi titik balik untuk memperkuat kepercayaan publik. Namun, jika jalan pintas amnesti dibuka tanpa dasar kuat, maka ia akan memperdalam krisis moral bangsa.

Publik punya peran penting: mengawasi, mencatat, dan mengingat. Setiap janji yang pernah diucapkan harus dipegang sebagai kontrak moral, bukan sekadar retorika pemilu.

Kesimpulan: Jangan Ada Lagi “Koruptor Berteriak Korupsi”

Kasus Noel adalah cermin. Di dalamnya, kita melihat betapa mudahnya perang melawan korupsi dijadikan panggung, dan betapa rapuhnya komitmen ketika godaan kuasa datang.

Jika Indonesia ingin benar-benar keluar dari jerat korupsi, maka:

Hukum harus berdiri di atas kepentingan individu.

Amnesti tidak boleh jadi pelarian bagi yang pernah berjanji memerangi korupsi.

Publik harus terus mengawal agar kata-kata tidak lagi berkhianat pada perbuatannya.

Karena korupsi bukan hanya soal uang yang hilang. Ia merampas kepercayaan, meruntuhkan harapan, dan mencederai keadilan. Dan ketika keadilan terus dipermainkan, kita semua yang akan membayar harganya.

(Idham rizal ppwi inhil)

Posting Komentar

0 Komentar